MAKALAH “FIQH MUAMALAT “ HARTA BENDA DAN HAQ MILIK









MAKALAH
“FIQH MUAMALAT “
HARTA BENDA DAN HAQ MILIK






DisusunOleh :

-AlfianAlghifari-
-Muliani-
-Yusril

PRODI AKHWAL ALSYAKSHSIYYAH
JURUSAN SYARIAH & EBI

MAKALAH FIQH MUAMALAH DAN PERIKATAN
HARTA, HAK DAN PEMILIKAN DALAM ISLAM

A.      Pendahuluan
Kepemilikan terhadap harta benda merupakan hal mendasar bagi setiap individu dalam menjalankan aktivitasnya. Batas batas kepemilikan yang berkaitan dengan jumlah, pemanfaatan maupun kebebasan dalam pemanfaatan sangat dipengaruhi oleh ajaran mendasar, baik melalui ajaran agama maupun paham ideologi. Secara umum batasan yang diperbincangkan adalah kepemilikan umum dan pribadi, penggunaan pada obyek obyek usaha maupun batas maksimal dari kepemilikan.
Hak milik dalam Islam selalu dihubungkan dengan keberadaan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi sebagai manifestasi pertanggungjawabannya. Hak milik merupakan bagian dari pembahasan harta benda (al mal), yang merupakan kajian dari Fiqh Mu`amalat. Kedudukan kepemilikan dalam fiqh mu`amalat menjadi sangat penting karena berkaitan dengan syarat sahnya sebuah transaksi harta benda. Transaksi dapat dilakukan jika kepemilikan terhadap harta benda menjadi kepemilikan yang sah dan tidak ada sebab lain yang menghilangkan haknya dari orang yang melakukan transaksi tersebut.
Secara mendasar Islam mengajarkan bahwa kepemilikan yang paling asasi dari seluruh harta adalah Allah, manusia menjadi pemilik atas harta hanya sebagai amanat dari Allah. Pemanfaatan kepemilikan oleh manusia sebatas sebagai makhluk yang harus sesuai dengan ketetapan-Nya, dan untuk tujuan yang yang telah ditetapkan melalui ajaran agama.

B.       Pembahasan
1.      Pengertian Harta dalam Fiqh
 Harta dalam bahasa Arab disebut ‘al mal’ yang berasal dari kata,ما ل- يميل - ميل, berarti condong, cenderung, dan miring.[1] Sedangkan menurut istilah imam Hanafi, harta (al mal) ialah: “Sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.”[2]
Kemudian menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan harta ialah:
ما يميل اليه طبع و يجر ي فيه ا لبذ ل و ا لمنع
“Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menimpanya”[3]

Menurut sebagian ulama lainnya, bahwa yang dimaksud dengan harta ialah:
ا لما ل هو كل ما له قيمة يلز م بضما نه
“Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau melenyapkannya.” (Jumhur ulama selain Hanafiyah).[4]
Berdasarkan definisi para fuqaha di atas dapat dijelaskan bahwa menurut fuqaha selain dari Hanafi, mengungkapkan harta itu tidak saja bersifat materi tetapi juga termasuk manfaat dari sesuatu benda, sebab ia dapat diambil dan dikuasai dengan cara mengambil asal dan sumbernya. Juga karena manfaat dan hak-hak itu menjadi tujuan dari sesuatu benda (barang), jika tidak ada manfaat maka benda-benda itu tidak akan diambil (dicari) dan orang tidak akan menyukainya. Sedangkan fuqaha dari golongan Hanafi membatasi definisi harta pada perkara-perkaraatau benda-benda yang mempunyai fisik dan zat yang dapat dirasa. Adapun mengenai manfaat dan hak-hak maka itu tidak dapat dihitung harta pada pandangan mereka, ia merupakan milik tetapi bukan harta.
Ulama Hanafi Mutaakhirin berpendapat bahwa definisi al-mal yang dikemukakan oleh pendahulunya dianggap tidak komprehensif dan kurang akomodatif sehingga mereka lebih cenderung untuk menggunakan definisi al-mal yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas, karena persoalan al-mal terkait dengan persoalan adat kebiasaan, situasi dan kondisi suatu masyarakat. Menurut mereka, kondisi hari ini kadangkala manfaat sesuatu benda boleh banyak menghasilkan penambahan harta dibandingkan fisik bendanya sendiri, seperti perbandingan harga antara mengontrakkan rumah beberapa tahun daripada menjualnya. Oleh karena itu, Mustafa Ahmad Zarqa’ (1999: 127) dari golongan Hanafi Mutaakhirin mengungkapkan definisi al-mal sebagai sesuatu yang mempunyai nilai materi di kalangan masyarakat.[5]
Berikut ini ada beberapa perkara-perkara yang bisa masuk ke dalam ciri-ciri harta, yaitu:
a.    Sesuatu yang kita miliki dan dapat diambil manfaat darinya seperti rumah, kendaraan, tanah dan sebagainya.
b.    Sesuatu benda yang belum kita miliki, tetapi berkemungkinan untuk memilikinya juga dianggap sebagai harta. Karena ia dapat dimiliki, seperti ikan di laut, burung di udara atau binatang di hutan dapat dianggap sebagai harta.
c.    Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan biasa seperti setitik air atau sebiji beras, walaupun dapat dimiliki, tidak dianggap sebagai harta.
d.   Sesuatu yang dicegah oleh syara’ untuk dimanfaatkan oleh semua orang, tidak dianggap sebagai harta walaupun benda itu dapat dimiliki dan dimanfaatkan oleh seseorang.
e.    Seandainya sesuatu itu diharuskan dapat dimanfaatkan oleh sebagian golongan manusia, ia masih dianggap sebagai harta bagi mereka seperti babi dan arak, dianggap harta bagi orang kafir tetapi tidak bagi orang Islam.[6]

2.      Harta Material, Immaterial dan Piutang
Harta material adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras,kendaraan dan lain sebagainya. Harta material ini disebut juga dengan harta ‘ain yang terbagi menjadi dua bagian:
a.       Harta ‘ain dzati qimah, yaitu benda yang memiliki bentuk dipandang sebagai harta karena memiliki nilai, yang meliputi:
1)      Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya
2)      Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya
3)      Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya
4)      Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari seumpamanya
5)      Benda yang dianggap harta yang berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
6)      Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat dipindahkan (benda tetap)
b.      Harta ‘ain ghyar qimah, yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya sebiji beras.
Harta Immaterial adalah harta yang tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan, seperti manfaat


c.       Piutang
Piutang disebut sebagai harta dayn ialah sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.[7]

3.      Pengertian Hak dan Hak berkaitan dengan Harta
Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq,  yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti milik, ketetapan dan kepastian, seperti terdapat dalam surat Yasin, 36: 7 yang berbunyi:[8]
ô‰s)s9 ¨,ym ãAöqs)ø9$# #’n?tã öNÏdÎŽsYø.r& ôMßgsù Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÐÈ
7.  Sesungguhnya Telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.


Al-Haqq diartikan juga dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana tercantum dalam surat al-Anfal, 8: 8 [9]
¨,ÅsãŠÏ9 ¨,ysø9$# Ÿ@ÏÜö7ãƒur Ÿ@ÏÜ»t7ø9$# öqs9ur onÌx. šcqãBÌôfßJø9$# ÇÑÈ
8.  Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.




Menurut pengertian umum, hak ialah :[10]


“Suatu Ketentuan yang digunakan oleh syara’untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”

Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli Ushul, yaitu :[11]




“Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta”

Ada juga hak yang didefinisikan sebagai berikut:[12]


“Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya”.[13]

Dari uraian pengertian secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa maksud hak adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang kepemilikan, kepastian, ketetapan dan kebenaran. Sedangkan definisi hak menurut para pakar adalah: Hak adalah sesuatu yang diakui oleh syara’ kepada seseorang, baik bermanfaat secara material atau moral, manfaat tersebut berkaitan dengan harta, atau yang berkaitan dengan diri. Umpamanya hak penjagaan, hak berdakwah, menjaga kepentingan agama dan berjihad.[14] Syaikh ‘Ali al-Khafif mendefinisikan hak dengan kemaslahatan yang diperoleh secara syara’. Mustafa Ahmad Zarqa’ mendefinisikan bahwa hak adalah sesuatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan. Definisi yang lebih singkat dan sederhana dikemukakan oleh Ibn Nujaim (dari Tokoh Hanafi) yaitu suatu kekhususan yang terlindungi.[15]
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa definisi yang paling komprehensif seperti yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuayli ialah definisi yang dikemukakan oleh Ibn Nujaim dan Mustafa Ahmad Zarqa’ karena kedua definisi tersebut menurut Wahba al-Zuhayli lebih jauh, mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum seperti hak-hak Negara, hak-hak kehartabendaan dan hak-hak non materi seperti hak perwalian atas seseorang. Dengan demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa sumber dari hak itu ialah Allah SWT, karena Dia-lah al-Hakim (pembuat hokum) dan dari-Nyalah datangnya syariat. Oleh karena itu, hak itu tidak bersumber dari manusia ataupun dari alam.[16]
Dalam membicarakan tentang hak, ada rukun hak yang dapat diuraikan dalam  kajian ini. Para ulama Fiqh mengemukakan bahwa rukun hak itu ada dua, yaitu :[17]
a.       Pemilik Hak (Orang yang berhak)
Yang menjadi pemilik hak, dalam pandangan syariat Islam adalah Allah Ta’ala, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak pribadi, atau hak-hak secara hukum, seperti perserikatan dan yayasan, yang dalam istilah fiqh disebut dengan asy-syakhshyyah al-i’tibariyyah.
b.    Objek hak
Objek hak yaitu baik sesuatu yang bersifat materi maupun hutang.
Seorang manusia,menurut ketetapan syara’, telah memiliki hak-hak pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya dengan penuh apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Hak-hak pribadi yang diberikan Allah ini akan habis dengan wafatnya pemilik hak.
Berbicara masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal. Adapaun pengertian hak mal adalah sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda dan utang-utang. Setiap manusia berhak memiliki sesuatu seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.[18]
4.      Tukar Menukar Hak (Tabadul al-Haqq)
Dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu mal dan ghair mal.
“Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang.”
Hak ghoir mal terbagi kepada dua bagian, yaitu hak syakhshi, dan hak 'aini.
Hak syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya.
Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
Hak 'aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekalipun benda tersebut telah berada di tangan orang lain. Misalnya, harta milik seseorang telah dicuri lalu dijual kepada orang lain, maka pemilik seh harta tersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya
Materi hak 'aini dapat berpindah tangan, sedang hak syakhsi tidak dapat berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggung jawab atau kewajiban
Hak 'aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedangkan syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi. Karena hak syakhsi melekat pada diri seseorang kecuali pemilik hak meninggal. Misalnya, hak syakhsi dalam hutang piutang barang,sekali pun barang yang di hutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagih pelunasan hutang tersebut.[19]



5.      Pengertian dan Maksud Kepemilikan dalam Islam
a.      Pengertian Kepemilikan
Al-Milkiyyah atau al-Milku (kepemilikan, hak milik) adalah kekhususan yang menjadi batas (haajiz) yang secara syara’ menjadikan seseorang boleh melakukaan pentasharufan terhadap apa yang dimilikinya kecuali jika ada suatu hal yang menjadi penghalang untuk itu.[20] Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara’. Secara terminologi, al-milk adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’.[21]
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi tersebut dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengapu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampunannya, pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampunannya. Dengan kata lain dapat dikatakan “tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.[22]
Harta pada hakikatnya adalah milik Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah yg artinya
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Qs. Al-Maa’idah: 120)

Manusia seluruhnya adalah hamba-hamba-Nya. Mereka semua sama-sama memiliki hak dalam pemerataan distribusi asset-aset kekayaan, baik apakah itu tergambarkan pada barang komoditi ekonomi maupun barang komoditi bebas. Kepemilikan manusia terhadap harta adalah kepemilikan majazi (dalam arti yang tidak sesungguhnya). Artinya, statusnya hanya sebagai orang yang diamati dan dipercayai serta hanya sebagai khalifah atau wakil Tuhan dalam menguasai harta, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah)….” (al-Hadiid: 7)

“…… Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya….” (Huud: 61)

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu…” (al-Baqarah: 29)

Konsep dan pandangan terhadap harta seperti ini dan pemahaman bahwa manusia hanya sebatas sebagai khalifah atau wakil dalam menguasainya. Konsekuensi logis pandangan dan pemahaman ini adalah manusia dalam memiliki harta harus patuh dan tunduk kepada aturan dan ketentuan-ketentuan Allah SWT sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Pemilik Hakiki. Posisi manusia adalah sama dalam hal mereka semua sama-sama memiliki hak dalam memiliki dan mendapatkan kekayaan-kekayaan bumi. Harta itu sendiri bukanlah tujuan yang dikehendaki, akan tetapi harta hanya sebagai sarana atau media untuk mendapatkan pemenuhan berbagai kebutuhan.
Apabila status sebagai khalifah atau wakil Allah SWT dalam kepemilikan dan penguasaan harta adalah di tangan umat manusia secara kolektif (komunitas), maka kepemilikan individu dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan komunitas terhadap tugas dan misinya sebgai khalifah. Kepemilikan individu memiliki sifat atau karakter social, bukan bersifat sebagai hak mutlak, monopoli dan totaliter. Komunitas memiliki hak pengawasan dan pengontrolan terhadap para pemilik kepemilikan individu guna menjamin bahwa mereka menggunakan kepemilikannya untuk kepentingan dan kebaikan umum. Sehingga, di samping pemilik harta akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT tentang harta miliknya, juga dimintai pertanggungjawabannya di hadapan komunitas atau publik.[23]
b.        Harta kekayaan dan kepemilikan dalam Perspektif Islam
Harta kekayaan pada hakekatnya adalah milik Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan dalam al-quran, seperti ayat, “kepunyaan Alla-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,”. Sementara kepemilikan manusia terhadap harta hanyalah bersifat “majaz” atau tidak dalam arti yang sesungguhnya. Dalam artian, harta di tangan manusia hanya sebagai amanat dan status manusia hanya sebagai khalifah di dalam menguasai harta, sebagaimana ayat, “dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”
Hal ini berarti bahwa manusia harus terikat dengan perintah-perintah Allah SWT di dalam kepemilikan harta sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pemilik sesungguhnya. Status manusia adalah sama, mereka memiliki hak di dalam ikut memiliki kekayaan bumi. Kepemilikan individu adalah sebuah hak yang dianugrahkan oleh Allah SWT. Harta kekayaan itu sendiri sebenarnya bukanlah yang menjadi tujuan yang diinginkan, akan tetapi harta kekayaan hanyalah sebagai sarana untuk mendapatkan berbagai kemanfaatan dan jaminan terpenuhinya berbagai kebutuhan.[24]

6.      Jenis Kepemilikan dan Kepemilikan Umum dalam Islam
Kepemilikan terdiri dari dua bagian. Kepemilikan adakalanya sempurna atau utuh dan adakalanya tidak sempurna.
a.    Kepemilikan sempurna atau utuh
Yaitu kepemilikan atas sesuatu secara keseluruhan, baik zatnya (bendanya) maupun kemanfaatannya (penggunaanya), sekiranya si pemilik memiliki semua hak-hak yang diakui hokum terhadap sesuatu tersebut.
Di antara karakteristik yang terpenting adalah bahwa itu adalah kepemilikan yang mutlak, permanen yang tidak terbatasi oleh masa tertentu selama sesuatu yang dimiliki itu masih ada, dan tidak bisa digugurkan.[25]

b.      Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Naqish)
Hak milik Naqish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja karena barangnya milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa manfaat. Adapun macam-macam hak milik naqish yaitu:
1)      Milk al-‘ain atau milk al-raqabah
Milk al-‘ain atau milk al-raqabah yaitu hak milik atas bendanya saja, sedangkan manfaatnya dimiliki oleh orang lain. Contohnya seseorang mewasiatkan kepada orang lain untuk menempati sebuah rumah atau menggarap sebidang tanah selama hidupnya atau selama tiga tahun. Apabila orang yang berwasiat meninggal dan orang yang diwasiati menerimanya, maka wujud rumahnya atau tanahnya menjadi hak milik ahli waris orang yang berwasiat sebagai warisan, sedangkan orang yang diberi wasiat memiliki manfaat sepanjang hidupnya atau selama tiga tahun. Apabila masa tersebut sudah lewat, maka manfaat rumah atau tanah tersebut menjadi hak milik waris orang yang berwasiat, dan dengan demikian hak milik atas rumah atau tanah tersebut menjadi hak milik yang sempurna.
Dalam keadaan di mana manfaat suatu benda dimiliki oleh orang lain, pemilik benda tidak bisa mengambil manfaat atas benda yang dimilikinya, dan ia tidak boleh melakukan tasarruf atas benda dan manfaatnya. Ia wajib menyerahkan benda tersebut kepada pemilik manfaat, agar ia bisa memanfaatkannya. Apabila pemilik benda menolak menyerahkan bendanya, maka ia bisa dipaksa.[26]
2)      Milk al-manfaat asy-syakhshi atau hak intifa’
Ada lima hal yang menyebabkan timbulnya milk al-manfaat, yaitu: i’arah (pinjaman); ij,arah (sewa menyewa); wakaf; wasiat dan ibrahah. Adapun beberapa ciri khas dari Milk al-manfaat asy-syakhshi antara lain.
a)         Hak milk manfaat dapat  dibatasi dengan waktu, tempat dan sifat pada saat menentukannya
b)        Menurut Hanafiyah, hak milik manfaat asy-syakhshui tidak bisa diwaris.
c)         Pemilik hak manfaat menerima benda yang diambil manfaatnya itu walaupun secara paksa dari pemiliknya.
d)        Pemilik manfaat harus menyediakan biaya yang dibutuhkan oleh benda yang diambil manfaatnya.
e)         Pemilik manfaat harus mengembalikan barang kepada pemiliknya setelah ia selesai menggunakannya, apabila pemilik barang tersebut memintanya, kecuali apabila pemilik manfaat mintanya kecuali apabila pemilik manfaat merasa dirugikan muisalnya tanamannya belum dapat dipetik (dipanen).

Berakhirnya hak manfaat, ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya hak manfaat asy-syakhshi, yaitu:
a)         Selesainya masa pengambilan manfaat yang dibatasi waktunya.
b)        Rusaknya benda yang diambil manfaatnya atau terd.apat cacat yang tidak memungkinkan dimanfaatkannnya benda tersebut, seperti robohnya rumah yang ditempati. Meninggalnya pemilik manfaat menurut Hanafiyah, karena manfaat menurut mereka tidak bisa diwaris.
c)         Wafatnya pemilik barang, apabila manfaat tersebut diperoleh dengan jalan i’arah ataui ijarah.[27]
3)      Milk al-manfaat al-‘aini atau hak irtifaq
Hak Irtifaq adalah suatu hak yang ditetapkan atas benda tetap untuk manfaat benda tetap yang lain, yang pemiliknya bukan pemilik benda tetap yang pertama. Macam-macamnya adalah:
a)      Hak Syurb (Haq Asy-Surb)
Adalah hak untuk minum dan menyirami, yakni untuk minum manusia dan binatang dan menyirami tanaman dan pepohonan.
b)      Hak Majra (Haq al-Majra)
Adalah hak pemilik tanah yang jauh dari tempat aliran air untuk mengalirkan air melalui tanah milik tetangganya ke tanahnya guna menyirami tanaman yang ada di atas tanahnya itu.
c)      Hak Masil (Haq Al-Masil)
Adalah hak untuk membuang air kelebihan dari tanah atau rumah melalui tanah milik orang lain.
d)     Hak Murur (Haq Al-Murur)
Adalah hak pemilik benda tetap yang terletak di bagian dalam untuk sampai ke benda tetapnya melalui jalan yang dilewatinya, baik itu jalan  umum ataupun tidak dimiliki oleh seseorang, maupun jalan khusus yang dimiliki oleh orang lain.


e)      Hak Jiwar (Haq Al-Jiwar)
Hak bertetangga (Haq Al-Jiwar) terbagi menjadi dua yaitu. Pertama, Hak Ta’alli (hak bertetangga ke atas dan ke bawah), yaitu suatu hak bagi pemilik bangunan yang disebelah atas terhadap pemilik bangunan yang ada di sebelah bawah. Kedua, hak jiwar Al-Janibi (hak bertetangga ke samping), yaitu suatu hak yang ditetapkan kepada masing-masing orang yang  bertetangga atau sama lain yang ada di samping rumahnya.[28]

Kemudian, mengenai kepemilikan umum dalam Islam, Rasulullah saw bersabda,
“Manusia bersekutu (sama-sama memiliki hak) pada tiga perkara-dalam sebuah riwayat disebutkan empat perkara- yaitu, air, rumput, api dan garam.[29]

Hadist ini hanya menyebutkan perkara-perkara tersebut, karena perkara-perkara itu termasuk kebutuhan-kebutuhan hidup vital dilingkungan Arab. Perkara-perkara tersebut statusnya mubah bagi semua orang, artinya siapa saja berhak ikut memanfaatkannya. Negara yang memerankan dan mempresentasikan kepentingan dan kemaslahatan-kemaslahatan masyarakat umum.
Oleh sebab itu, Negara memiliki kewenangan untuk menguasai perkara-perkara tersebut dan semua hal yang menjadi kebutuhan pokok dan vital seperti kekayaan alam mentah, industry-industri pengelolaan, dan produksi bahan-bahan dasar dan utama, pengelolaan dan penguasaan atas sarana dan prasarana umum yang akan selalu berubah, berganti dan berkembang sesuai kondisi lingkungan dan masa serta sarana-sarana lainnya yang merupakan sarana vital dan dasar bagi kemaslahatan umat.[30]
7.      Pencabutan Kepemilikan
Dalam pemindahan kepemilikan ini, ada yang bersifat persetujuan dan kerelaan si pemilik, dan ada yang bersifat paksaan. Ada dua hal yang masuk dalam cakupan akad-akad yang menjadi sebab kepemilikan secara langsung, yaitu:
a.       Akad-akad yang bersifat paksaan yang diberlakukan oleh otoritas pengadilan secara langsung mewakili pemilik yang sebenarnya, seperti menjual secara paksa harta dan asset kekayaan pihak yang berhutang untuk menutupi utang-utangnya, dan menjual harta benda timbunan.
b.      Pencabutan kepemilikan secara paksa. Disini terdapat dua bentuk:
1)      Syuf’ah (hak untuk mengambil alih kepemilikan secara paksa)
Menurut ulama Hanafiyah, syuf’ah adalah hak syariik (sesorang yang ikut memiliki bagian dari suatu harta tidak bergerak yang dijual) atau hak seseorang yang memiliki harta tidak bergerak yang berdampingan dan berdempetan dengan harta tidak bergerak yang dijual tersebut (al-Jaar al-Mulaashiq) untuk mengambil alih kepemilikannya secara paksa dari pihak pembeli dengan cara memberinya ganti harga dan ongkos perawatan harta tidak bergerak itu yang telah dikeluarkan oleh pihaknya.
2)      Mengambil alih kepemilikan demi kepentingan umum, yaitu mengambil alih kepemilikan suatu tanah milik seseorang secara paksa dengan memberinya kompensasi sesuai dengan harga yang adil untuk tanah itu karena ada kondisi darurat atau demi kemaslahatan umum, seperti untuk perluasan mesjid, memperluas jalan dan sebagainya.[31]



C.      Penutup
Dari penjabaran di atas maka jelaslah bahwa harta kekayaan pada hakekatnya adalah milik Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan dalam al-quran, seperti ayat, “kepunyaan Alla-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,”. Sementara kepemilikan manusia terhadap harta hanyalah bersifat “majaz” atau tidak dalam arti yang sesungguhnya. Dalam artian, harta di tangan manusia hanya sebagai amanat dan status manusia hanya sebagai khalifah di dalam menguasai harta. Kemudian yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang kepemilikan, kepastian, ketetapan dan kebenaran. Hak yang berkaitan dengan harta adalah hak mal, seperti pemilikan suatu barang/benda dan juga berupa utang-utang. Dalam menguasai harta ini, penulis berharap semoga kita semua mengelola harta yang diamanahkan Allah tersebut sesuai dengan batas-batas atau kaedah-kaedah yang ditetapkan Allah dan tentunya tidak melanggar syara’. Selain itu, dalam harta yang kita miliki tersebut juga ada hak orang yang lain yang wajib kita keluarkan baik berupa zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya. Sebab dalam Islam juga dituntut adanya perguliran/distribusi pendapatan, sehingga harta tersebut tidak hanya bergerak atau dimanfaatkan orang-orang kaya saja tapi tentunya juga bisa meringankan beban masyarakat lemah. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita semua.


[1] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa UIN/IAIN/STAIN/PTAIS dan Umum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 15
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fikih Muamalat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 55
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 10
[4] M. Ali Hasan, Berbagai Macam…, hal. 56
[5] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam. (Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2013), hal. 17-18
[6] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam…, hal. 18-19
[7] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah…,hal. 23
[8] Nasrul Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 1
[9] Nasrul Haroen, Fiqh Muamalah…, hal. 1
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hal. 32
[11] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hal. 32
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hal.. 33
[13] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah…, hal.32
[14] Muhammad Yusuf Musa, 1955, hal. 221dalam Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam…, hal.35
[15] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam…, hal. 35
[16] Rizal dan Nilfirdaus, Ekonomi Islam…, hal. 35
[17] Nasrul Haroen, Fiqh Muamalah…, hal. 3
[18] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah…, hal.33
[19] Gustani, Teori Hak, (Online). Tersedia: gustani.blogspot.com/2011/07/teori-hak.html Akses: 26 September 2015
[20] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam…, hal. 473. Yang dimaksud dengan “haajiz”, pada definisi di atas adalah sesuatu yang memberikan hak dan kewenangan kepada seseorang untuk melarang dan menghalangi orang lain dari apa yang dimilikinya. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat “menjadikan seseorang bole melakukan pentasharufan terhadap apa yang dimilikinya,” adalah, bahwa kepemilikan adalah sebua kekuasaan asal, bukannya didapatkan dari orang lain.
[21] Abdul Rahman , Fikih Muamalat, Jakarta : Prenada Media Group, 2010, hal. 45-46
[22] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hal. 33-34
[23] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir, 2011), hal. 32-33
[24] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam…, hal. 473-474

[25] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam…, hal. 451

[26] Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), hal. 74-76
[27] Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat…, hal. 76-83
[28] Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat…, hal. 84-89
[29] HR Ahmad dan Abu Dawud. Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abdullah bin Abbas r.a., juga diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari Abdullah Ibnu Umar r.a
[30] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam…, hal. 46
[31] Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam…, hal. 468-469


Posting Komentar

0 Komentar

Pemberi Nasehat Yang Lupa Menasehati Dirinya Sendiri! | As-Saff | Paradoks Salomo| Psikologi.