Pemberi Nasehat Yang Lupa Menasehati Dirinya Sendiri! | As-Saff | Paradoks Salomo| Psikologi.

 



Pernah suatu hari saya ditanya oleh seorang dosen dari Universitas Sulawesi Barat (UNSULBAR) tentang pesan pesan agama yang biasa saya sampaikan kepada jamaah di Masjid. Kami cukup akrab, sehingga urusan privat sekalipun ia rasa berhak untuk mempertanyakannya.

Saat itu ia bertanya "Ian, apakah setiap pesan agama yang kau sampaikan kepada jamaah saat di Masjid, kau terapkan dalam kehidupan mu?" Ia bertanya tanpa ragu.

Pertanyaan itu ia ajukan saat kami berempat (saya, dia, dan dua teman lainnya) nge camp di puncak Bulo. Tepat saat malam mulai larut.

Mendengar pertanyaan yang cukup berat itu saya sejenak merenung, berharap jawaban yang keluar dari mulut saya adalah jawaban terbaik dan sesuai fakta.

Setelah beberapa lama berdialog dengan diri sendiri, barulah saya sadar bahwa yang berhak menjawab pertanyaan itu adalah orang lain, bukan saya. Karena ini menyangkut penilaian terhadap objek. Dan yang paling berhak memberikan penilaian adalah jamaah, orang sekeliling saya, teman teman saya, bahkan pak dosen sendiri.

Karena saat itu saya tidak mampu membendung keinginan untuk tidak menjawab, akhirnya saya memutuskan untuk menjawab. Agar kelihatan lebih bijak, serta agar terkesan tawadhu, saya menjawab "50 50 pak dosen, tidak semua yang saya sampaikan saya terapkan dalam keseharian". Faktanya memang begitu. Ada beberapa hal dalam dakwah  yang tidak saya laksanakan. Misalnya berkata kasar, dalam dakwah saya sampaikan bahwa kata kasar cerminan sifat buruk manusia, tapi terkadang saya sendiri yang berkata kasar pada orang lain.

Ketidaksesuaian antara perkataan saya dan tindakan saya terjadi bukan karena tidak mampu melaksanakannya, tetapi karena kadang tidak sadar. Dan kesadaran itu selalu datang terlambat. Padahal Tuhan dalam firman-nya surah As-Saff ayat 2-3 menyatakan "Wahai orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? | Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" sangat jelas sekali, Tuhan membenci perkataan yang tidak dikerjakan.(Insyallah akan di perbaiki).

Tiga hari lalu ada sebuah info Psikologi lewat di beranda Sosmed saya. Info itu seolah memverifikasi bahwa manusia memang lebih bijak ketika dihadapkan pada orang lain daripada dirinya sendiri. Ini peristiwa psikologis, manusiawi, sudah terjadi berabad-abad lalu. Sama seperti yang terjadi pada saya, lebih bijak menasehati orang lain daripada menasehati diri sendiri. Saya ngomong begini bukan berarti saya membenarkannya!!!

Kondisi semacam ini dalam info yang saya terima di SOSMED disebut Paradoks Salomo. Kondisi dimana manusia lebih bijak jika berhadapan dengan manusia lain dibandingkan dirinya sendiri. 

Peristiwa psikologis ini bermula ketika raja Yahudi ke-tiga (kalau tidak salah) bernama Salomo yang dikenal bijaksana mampu menenangkan, memberikan nasehat yang baik kepada setiap rakyat yang berkonsultasi padanya. Meski ia sering memberi nasehat yang luar biasa, namun kehidupannya justru berbanding terbalik. Ia sering membuat keputusan yang salah untuk dirinya sendiri, dia gagal mendidik anaknya yang kelak menghancurkan kerajaan. Sungguh hidupnya tidak sebagai nasehatnya.

Yes... inilah manusia!!!

Benar kata Nabi, manusia tempatnya salah dan lupa!!

Sepaket pada lirik bang haji Rhoma : Orang yang baik bukan yang tidak pernah melakukan kesalahan, tapi yang menyadari kesalahannya dan memperbaikinya.

Jadi apa hikmah yang dapat di petik? Tulis di comen.

Saudaramu, Alfian Alghifari!!

Posting Komentar

0 Komentar

Pemberi Nasehat Yang Lupa Menasehati Dirinya Sendiri! | As-Saff | Paradoks Salomo| Psikologi.