Membangun peradaban di mulai dari pedalaman !




Desa taloba, dusun meriha.
Kecamatan Tutar.

Rasa lelah masih hinggap di tubuh ini.
Dinginnya masih menempel di badan ini.
Jalannya masih terbayang di fikiran ini.
Kisah dan cerita selama di tutar memaksaku untuk menulis, agar mereka merasakan apa yang kami rasakan

Mulai dari titik keberangkatan sudah memberikan tanda kepada kami, saling harap mengharap satu sama lain untuk membawa barang yang akan di bawa dan beberapa teman memilih menghindar untuk tidak membawa barang.
Kami maklumi, sekiranya kami tau alasanya bahwa untuk membawa barang sampai keada ujung Tutar itu sangat berat dan medan yang harus di lewati cukup membuat kami menghela nafas sedalam_dalamnya.

Perjalanan mungkin tidak akan indah, apabila tidak menemukan kendala selama di jalan.
Mulai dari jenuhnya kami menunggu teman selama 3 jam, yang kami sangka teman yang lain telah salah jalan/tersesat.
Rasa jenuh bercampur dengan rasa lapar, sekiranya yang membaca tulisan ini dapat membayangkan bagaimana susahnya menunggu selama 3 jam di temani dengan rasa lapar yang membuat kami hilang konsentrasi dan berdampak pada kemarahan.
Di titik ini pula, cekcok antara teman agak mulai terlihat sikap egois yang masih di kedepankan dan sikap kedewasaan masih di timbun.

Tidak sampai di situ, selama di jalan, ada banyak kendala yang kami harus lalui yang itu cukup memancing kesabaran kami, dan itu harus kutuliskan.
Terik matahari menusuk sampai batin, batu besar yang lepas selama di jalan semakin mengocok perut kami yang kelaparan, jalan yang becek membuat ban motor semakin licin, jalan yang mendaki membuat jantung berdetak kencang, jalan yang menurun memaksa tangan untuk tetap kuat demi keselamatan.
Cobaan masih belum berhenti, beberapa sepeda motor harus kalah dengan bebatuan.
Rantai motor putus, rantai motor lepas, rantai motor terjepit membuat sukar untuk di lepaskan.
Yang aku fikir, apakah Tuhan memberikan isyrat kepada kami untuk pulang,  ataukah Tuhan sengaja memberikan cobaan kepada kami untuk mengetahui sampai dimana kesabaran kami melaluinya. Wallahua'lam.

Hiruk piruk suasana kota kini tak lagi di dengar, bangunan_bangunan tinggi tak lagi terlihat, yang terlihat hanyalah gunung yang seolah menjelma menjadi bangunan_bangunan yang tinggi memanjakan mata dan mengandalkan kincir air sebagai alat penerangan

Rasa haru dan bahagia menjemput kami di negeri terpencil ini, sekolah yang hampir roboh beralasakan tanah dengan berdinding papan dan balok_balok menjadi cela di antara kelas ini.
Bangku dan meja yang sudah rapuh, papan tulis yang digunakan dengan alat seadanya, bangunan yang lebih mirip dengan kandang (maaf) itu tak menjadi alasan bagi anak_anak demi menuntut ilmu pengetahuan.

Kebahagiaan masyarakat terpancar dari senyuman bahagia yang di berikan kepada kami, anak_anak kecil yang berlarian menuju kami seolah mereka tau bahwa kami datang untuk membawa perubahan kepada mereka.
Di posisi ini kami diam seribu bahasa, hanya air mata yang mampu menjelaskan semuanya.

Sedikit bergeser dari tema ini, kepada pamerintah yang mengayomi.
Kami selaku mahasiswa mengecam keras perbaikan jalan untuk wilayah tutar dan menuntut agar sekolah pedalaman harus di perhatikan demi kelanjutan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Kasian mereka yang harus bersusah payah, berjalan beratus_ratus kilo demi menuntut ilmu, dan kurangnya tenaga pendidik juga menghalangi mereka untuk berkembang.
Maka sepatutnya pembangunan di kerjakan secara merata.

Pada akhirnya, terselip sebuah harapan kepada para generasi khususnya anak pedalaman, agar kiranya semangat menuntut ilmu itu masih terawat, sekalipun anak pedalaman tapi masa depan kalian takkan suram, dan sekalipun keberadaan kalian terpencil tapi kami yakin tekad kalian tidak kecil untuk meraih tangga kejayaan.

Wassalam.
Kamis 6 Februari 2020

Container.


Posting Komentar

0 Komentar

Pemberi Nasehat Yang Lupa Menasehati Dirinya Sendiri! | As-Saff | Paradoks Salomo| Psikologi.